MAKALAH TAWADHU DAN TAKWA
AHWAL DALAM TASAWUF : TAWADHU’ DAN TAKWA
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Akhlak Tasawuf
Dosen Pengampu
Ahmad Muzakkil Anam, S.Pd.I, M.Pd.I
Disusun Oleh:
1)
Bondan
Budi Prayogo ( 63020160114)
2)
Aji
Santosa ( 63020160116)
3)
M.
Khoirul Afnan ( 63020160120)
JURUSAN S1 EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT. yang telah
memberikan limpahan rahmat dan nikmat kepada kita semua sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas penyusunan makalah “Akhlak Tasawuf” Insya Allah dengan
baik.
Penyusunan ini tentunya bukan hanya hasil pemikiran kami
sendiri, banyak orang-orang yang mendukung kami di belakang. Ucapan terima
kasih kami haturkan kepada kedua orang tua kami, kepada Bapak dosen mata kuliah
Akhlak Tasawuf, dan teman-teman yang selalu menyumbangkan
semangatnya.Tanpa mereka kami bukanlah
apa-apa.
Dalam makalah
ini, kami membahas mengenai “BAB Tawadlu’dan Taqwa” yang Insya Allah akan bermanfaat dan dapat
kita terapkan dalam kehidupan
sehari-hari. Untuk lebih jelasnya, marilah kita baca dan pelajari makalah ini.
Makalah ini hanyalah hasil karya susunan insan yang tak berdaya, yang tak jauh dari
khilaf dan salah. Untuk itu kritik dan saran dari para pembaca sangat kami
harapkan, agar bisa kami jadikan motivasi untuk ke depannya. Semoga Allah SWT,
selalu menuntun setiap perjalanan hidup kita. Aaamin.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................................ 2
DAFTAR ISI...................................................................................................................... 3
BAB 1 PENDAHULUAN................................................................................................. 4
A. Latar Belakang........................................................................................................ 4
B. Rumusan Masalah.................................................................................................... 4
C. Tujuan Penulisan...................................................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................... 6
A. Tawadlu’.................................................................................................................. 6
1.
Pengertian tawadlu’
secara bahasa................................................................. 6
2. Pengertian tawadlu’ secara istilah.................................................................. 6
3. Syarat tawadlu’.............................................................................................. 7
4. Keutamaan Tawadlu’..................................................................................... 8
5. Macam-macam tawadlu’ dan contohnya........................................................ 10
6. Dalil Quran dan hadits tentang tawadlu’....................................................... 11
7. Faedah tawadlu.............................................................................................. 12
B. Takwa...................................................................................................................... 12
1.
Pengertian takwa............................................................................................. 12
2.
Kriteria takwa.................................................................................................. 13
3.
Jalan mencapai
takwa...................................................................................... 14
4. Dalil Quran dan hadits tentang takwa............................................................ 16
5.
Contoh sikap dan
perilaku takwa.................................................................... 18
6.
Karunia takwa dan
faedah takwa................................................................... 18
BAB 3 KESIMPULAN...................................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................... 20
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Tasawuf merupakan salah satu aspek Islam, sebagai
perwujudan dari ihsan, yang berarti kesadaran adanya komunikasi dan dialog
langsung seorang hamba dengan Tuhan-Nya.Dalam dunia tasawuf, seseorang yang
ingin bertemu dengan-Nya, harus melakukan perjalanan dan menghilangkan sesuatu
yang menghalangi antara dirinya dengan Tuhan-Nya. Dalam tasawuf sikap ini
disebut tawadhu’.Dalam agama Islam, orang yang pertama kali memperkenalkan
sifat tawadhu’ adalah Nabi Muhammad SAW. Dengan ketinggian akhlak
beliau, maka mula-mula para shahabat mencontoh perilaku serta sifat-sifat
beliau yang salah satu sifatnya adalah sifat tawadhu’. Dalam dunia sufi
pun, sifat tawadhu’ adalah salah satu cara untuk membersihkan jiwa.
Karena lawan dari sombong/ tinggi hati adalah tawadhu’/ rendah hati.
Sikap tawadhu’ sangat erat kaitannya dengan sifat ikhlas.
Rangkuman keikhlasan seorang hamba ada pada ketawadhu’annya. Orang yang mampu
bersikap tawadhu’ berarti keikhlasan telah bersarang di hatinya.
Bedanya, ketawadhu’an lebih bersifat horizontal.
Tawadhu’ banyak berhubungan dengan manusia secara sosial.
Sedangkan Ikhlas, lebih bersifat vertikal, langsung kepada
Allah, tawadhu’ bukan berarti menghinakan dir
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa
pengertian dari Tawadhu’ ?
2.
Apa
saja Syarat-syarat Tawadhu’?
3.
Apa
Faedah dari tawadhu’?
4.
Apa
saja keutamaan dari Tawadhu’?
5.
Apa
saja macam-macam Tawadhu’ dan Contohnya?
6.
Apa
saja dalil-dalil yang mengenai Tawadhu’?
7.
Apa
pengertian Dari Takwa?
8.
Bagaimana
kriteria Takwa?
9.
Apa
saja jalan untuk mencapai Takwa?
10. Apa saja dalil-dalil tentang Takwa?
11. Apa faedah dari Takwa?
C.
TUJUAN
1.
Untuk
mengetahui pengertian dari Tawadhu’
2.
Untuk
mengetahui Syarat-syarat Tawadhu’
3.
Untuk
mengetahui keutamaan-keutamaan tawadhu’
4.
Untuk
mengetahui Faedah dari tawadhu’
5.
Untuk
mengetahui keutamaan dari Tawadhu’
6.
Untuk
mengetahui macam-macam Tawadhu’ dan
Contohnya
7.
Untuk
mengetahui dalil-dalil yang mengenai
Tawadhu’
8.
Untuk
mengetahui Drai Takwa
9.
Bagaimana
kriteria Takwa
10. Untuk mengetahui jalan
mencapai Takwa
11. Untuk mengetahui dalil-dalil
tentang Takwa
12. Untuk mengetahui faedah dari
Takwa
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Tawadhu’
Mengulas Sifat Tawadhu’
Diantara sekian banyak akhlak serta
sifat terpuji yang di tekankan oleh agama kita ialah Tawadhu’ (rendah hati).[1]Dikarenakan
akhlak mulia adalah inti ajaran agama islam, maka tak salah kalau banyak ayat
serta hadis yang menganjurkan hal tersebut, salah satunya sifat yang akan
menjadi kajian kita kali ini, yaitu Tawadhu’. Allah SWT berfirman :
وَلاَتُصَعِّر خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلاَتَمشِ فِي الأَرضِ مَرَحًا إِنَّ
اللهَ لاَيُحِبُّ كُلَّ مُختَالٍ فَخُورٍ
“Dan janganlah kamu
memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di
muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
sombong lagi membanggakan diri.”
Firman Allah yang
lainnya
لَا
تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَىٰ مَا مَتَّعْنَا بِهِۦٓ أَزْوَٰجًا مِّنْهُمْ وَلَا
تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ وَٱخْفِضْ جَنَاحَكَ لِلْمُؤْمِنِينَ
Janganlah sekali-kali kamu menujukan pandanganmu kepada keni’matan
hidup yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan di antara mereka
(orang-orang kafir itu), dan janganlah kamu bersedih hati terhadap mereka dan
berendah dirilah kamu terhadap orang-orang yang beriman. (Q.S Al-Hijr 88)
Tawadhu’
adalah sikap merendahkan diri dan melemah lembutkan hati bukan karena kehinaan
atau keremehan diri. Tujuan dari sikap rendah diri adalah memberikan setiap hak
sesuai dengan hak atau porsinya.[2] Tawadhu‘
merupakan faktor yang menghasilkan ketinggian derajat dan kemuliaan diri.
Tawadhu merupakan salah satu bagian dari akhlak mulia jadi sudah
selayaknya kita sebagai umat muslim bersikap tawadhu, karena tawadhu merupakan
salah satu akhlak terpuji yang wajib dimiliki oleh setiap umat islam.[3]
Perhatikan sabda Nabi SAW berikut ini :
Rasulullah SAW bersabda: yang artinya “Tiada berkurang harta karena
sedekah, dan Allah tiada menambah pada seseorang yang memaafkan melainkan
kemuliaan. Dan tiada seseorang yang bertawadhu’ kepada Allah, melainkan
dimuliakan (mendapat ‘izzah) oleh Allah. (HR. Muslim).
Iyadh bin Himar ra. berkata: Bersabda Rasulullah SAW: “Sesungguhnya
Allah SWT telah mewahyukan kepadaku:“Bertawadhu’lah hingga seseorang tidak
menyombongkan diri terhadap lainnya dan seseorang tidak menganiaya terhadap
lainnya.(HR. Muslim).
1.
Pengertian
Tawadhu’secara bahasa
Tawadhu'
(التّواضع)
secara bahasa adalah التّذلّل "Ketundukan" dan التّخاشع "Rendah Hati”. Asal katanya adalah Tawadha'atil
Ardhu' yakni Tanah itu lebih rendah daripada tanah sekelilingnya.[4]
2.
Pengertian
Tawadhu’ secara istilah
Tawadhu'
secara istilah adalah tunduk dan patuh kepada otoritas kebenaran, serta
kesediaan menerima kebenaran itu dari siapa pun yang mengatakan nya, baik dalam
keadaan ridha maupun marah. Tawadhu' juga merendahkan diri dan santun terhadap
manusia, dan tidak melihat diri memiliki nilai lebih dibandingkan hamba Allah
(manusia) yang lain nya. Sikap ini
adalah sikap seseorang yang tidak ingin menonjolkan diri sendiri dengan sesuatu
yang ada pada dirinya. Kebaikan yang dikaruniakan Allah Swt, padanya baik
berupa harta, kepandaian, kecantikan fisik, dan bermacam-macam karunia Allah
Swt, lainnya tidak membuat dirinya lupa. Orang yang bersikap tawadu senantiasa
ingat bahwa semua yang ada padanya adalah milik Allah Swt, semata. Oleh sebab
itu, seorang yang tawadu tak akan menghina orang lain dengan apa pun yang
diamanatkan Allah Swt kepadanya. [5]
3. Syarat Tawadhu’
Tawadhu’ adalah akhlak yang agung dan ia tidak sah kecuali dengan
dua syarat;
a.
Ikhlas
karena Alloh عزّوجلّ semata.
Rosululloh صلي الله عليه وسلم bersabda;
وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ
إِلَّا رَفَعَهُ اللَّهُ
“Tidaklah seseorang tawadhu’ karena Alloh, kecuali Alloh akan
angkat derajatnya.” (HR. Muslim: 2588)
b.
Kemampuan
Rosululloh صلي الله عليه وسلم bersabda:
مَنْ
تَرَكَ اللِّبَاسَ تَوَاضُعًا لِلَّهِ وَهُوَ يَقْدِرُ عَلَيْهِ دَعَاهُ اللَّهُ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى رُءُوسِ الْخَلَائِقِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ مِنْ أَيِّ
حُلَلِ الْإِيمَانِ شَاءَ يَلْبَسُهَا
“Barangsiapa yang meninggalkan pakaian karena tawadhu’ kepada
Alloh padahal dia mampu, maka Alloh akan memanggilnya pada hari kiamat di
hadapan seluruh makhluk hingga Alloh memberinya pilihan dari perhiasan penduduk
surga, ia bisa memakainya sekehendaknya.” [6]
4 .
Keutamaan-Keutamaan Tawadhu'
Keutamaan Tawadhu’ akan menghasilkan buah yang luar biasa
baik di dunia maupun di akhirat kelak. Diantaranya :
1.
Allah
akan meninggikan derajat orang yang tawadhu’. [7]
Sifat
tawadhu’bukanlah suatu kehinaan, justru dengan ketawadhu’an dapat mengangkat
derajat seseorang. Kenapa? Karena pada dasarnya setiap manusia menginginkan
untuk dihormati, dan diperlakukan sama dengan pihak lainnya. Sehingga bila ada
seseorang yang selalu berhias dengan sikap tawadhu’, menghormati orang lain,
tidak meremehkannya, menghargai pendapatnya, tentu pihak lainnya pun akan
memperlakukan sama bahkan bisa lebih dari itu. Hal ini merupakan suatu realita
yang dapat disaksikan dalam kehidupan ini. Seseorang yang memiliki sifat mulia
ini akan menempati kedudukan yang tinggi di hadapan manusia, akan disebut-sebut
kebaikannya dan akan dicintai oleh mereka. Berbeda dengan orang yang sombong,
orang-orang akan menganggapnya rendah sebagaimana dia menganggap orang lain
rendah, tidak akan disebut-sebut kebaikannya dan orang-orang pun membencinya.
Oleh karena itu
Rasulullah SAW bersabda :
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ
, وَمَا زَادَ اللهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا , وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ
ِللهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللهُ
“Tidak akan berkurang suatu harta karena dishadaqahkan, dan Allah tidak akan
menambah bagi seorang hamba yang pemaaf melainkan kemuliaan dan tidaklah
seseorang merendahkan hatinya karena Allah, melainkan Allah angkat derajatnya.”
(HR. Muslim no. 556 dari hadits Abu Hurairah )
2. Meraih Al –
Jannah.
Tentu orang-orang yang selalu berhias dengan sikap tawadhu’,
mereka itu adalah sebenar-benarnya mushlihun. Yaitu orang-orang yang suka
mendatangkan kebaikan dan kedamaian. Karena sikap tawadhu’ tersebut akan
melahirkan akhlak-akhlak terpuji lainnya dan akan menjauhkan orang-orang yang
berhias dengannya dari sikap-sikap amoral (negatif) yang dapat merusak
keharmonisan masyarakat. Oleh karena itu Allah menjanjikan al jannah bagi
orang-orang yang memiliki sikap tawadhu’ bukan kepada orang-orang yang sombong,
sebagaimana dalam firman-Nya (artinya):
“Itulah negeri akhirat yang Kami sediakan (hanya) untuk orang-orang yang tidak menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di muka bumi. Dan kesudahan yang baik itu (hanya) bagi orang-orang yang bertaqwa.” (Al Qashash: 83)
Rasulullah SAW Bersabda :
“Itulah negeri akhirat yang Kami sediakan (hanya) untuk orang-orang yang tidak menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di muka bumi. Dan kesudahan yang baik itu (hanya) bagi orang-orang yang bertaqwa.” (Al Qashash: 83)
Rasulullah SAW Bersabda :
لاَيَدْخُلُ
الجنَّةَ مَنْ كَانَ فِيْ قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ
“Tidak akan masuk al jannah barangsiapa yang di dalam hatinya terdapat
kesombongan walaupun sebesar semut.” (H.R. Muslimin no. 91)
1.
Tawadhu’
yang terpuji
Tawadhu’ yang terpuji adalah ketawadhu’an seseorang kepada Allah
SWT dan tidak mengangkat diri di hadapan hamba-hamba Allah. Contoh perilaku
Tawadhu’ ini antara lain :
a.
Tidak
berlebihan baik dalam pakaian, makanan, dan minuman
b.
Sopan
santun dalam bertindak dan bersikap
c.
Merendahkan
nada suaranya
d.
Gemar
menolong orang yang membutuhkan pertolongan
2.
Tawadhu’
yang tidak terpuji
Tawadhu yang dibenci adalah
tawadhunya seseorang kepada Allah karena menginginkan dunia ada di
sisinya. Contoh perilaku tawadhu ini, antara lain :
a. bersikap sopan santun karena memiliki maksud yang tidak baik
b. tidak berlebihan memakai harta karena takut dicuri atau dimintai
zakat
c. menolong orang yang membutuhkan pertolongan dengan maksud ada imbalan dari yang
ditolongnya.
6. Dalil
Al-Qur’an Dan As Sunnah Tentang Tawadhu’
Dari Iyad bin
Himar menceritakan bahwa Rasulullah bersabda:
إِنَّ اللهَ
أَوْحَى إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوْا حَتَّى لاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ , وَ
لاَ يَبْغِيَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ
“Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku agar kalian merendahkan hati sehingga seseorang tidak menyombongkan diri atas yang lain dan tidak berlaku zhalim atas yang lain.” (H.R. Muslim no. 2588)
Petuah Imam assyafi’i :
التَّوَاضُعُ
يُوْرِثُ الْمَحَبَّةَ
“Sifat tawadhu’ akan melahirkan cinta kasih.”
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ
مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْ
Artinya: Dari Nabi SAW berkata: “tidak akan masuk surga siapa yang
dalam hatinya terdapat kesombongan walaupun hanya sebesar zarrah.” (HR.
Muslim, no. 33 juz 1)
أَوْحَى إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوا
حَتَّى لَا يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلَا يَبْغِ أَحَدٌ عَلَى أَحَد
Artinya: “Dan Allah mewahyukan kepadaku agar kalian saling merendah
diri agar tidak ada seorang pun yang berbangga diri pada yang lain dan agar
tidak seorang pun berlaku zhalim pada yang lain.” (HR.Muslim no. 2865)
وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ
يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا
سَلَامًا
Artinya: Adapun hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah
orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang
bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka
mengucapkan “Salam”. (Al-Furqan: 63)
وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ
مَرَحًا إِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ الْأَرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِبَالَ طُولًا
Artinya: Dan janganlah engkau berjalan di bumi ini dengan sombong,
karena sesungguhnya engkau tidak akan dapat menembus bumi, dan tidak akan mampu
menjulang setinggi gunung. (Al-Isra: 37)
7. Faedah Tawadhu’
Ø Salah satu jalan yang akan menghantarkan pada surga.[8]
Ø Allah SWT akan mengangkat kedudukan orang yang rendah diridihati
manusia, di kenang kebaikannya oleh orang lain serta diangkat derajatnya oleh allah swt.
Ø bahwa sikap tawadhu’ terpuji itu di tujukan pada orang-orang yang
beriman.
Ø Sifat twadhu’ sebagai bukti akan keindahan akhlak serta
pergaulannya.
Ø bahwa sifat tawadhu’ merupakan sifatnya para nabi dan rasul.
B.
TAKWA
1.
Pengertian
Secara
etimologis, takwa dan yang seakarnya tertera dan terulang sebanyak 258 kali
dalam Al-qur’an, berasal dari akar kata waqa-yaqi , infitif ( mashdar)-nya
wiqayah yang berarti memilihara, menjaga, melindungi, hati-hati, menjauhi
sesuatu, dan takut azab. Takwa juga dapat berarti al khassyah dan al khauf yang
berarti takut kepada azab allah. Disini dapat dikatakan bahwa “taqwa al-lah”
adalah takut kepada semua perintah allah dan menjauhi segala larangan-Nya.
Sedangkan insan yang bertaka dapat di definisikan sebagi insan yang tetap taat
kepada allah dan berusaha meninggalkan kemaksiatan.[9]
Menurut
al-Asfhani, takwa bermakna memelihara sesuatu dari segala yang meyakiti dan
yang memeberi mudharat. Lebih lanjut al-asfahani mengemukakan bahwa hakikat
takwa adalah menjadikan manusia memelihara dirinya dari yang ditakuti.
Menanggapi pemakna takwa sebagai al-khauf, al-Asfahani menyatakn bahwa takwa
dapat dinamakan khauf, begitu juga khauf dapat dinamakan takwa. Adapun yang
ditakuti disini adalah azab, siksa, sanksi, dan hukuman dunia akhirat.
Taqwa adalah sikap mental seseorang yang selalu ingat dan
waspada terhadap sesuatu dalam rangka memelihara dirinya dari noda dan
dosa, selalu berusaha melakukan perbuatan-perbuatan yang baik dan
benar, pantang berbuat salah dan tidak melakukan kejahatan pada orang
lain, diri sendiri dan lingkungannya.
Dari
berbagai makna yang terkandung dalam taqwa, kedudukannya sangat penting
dalam agama islam dan kehidupan manusia karena taqwa adalah pokok dan
ukuran dari segala pekerjaan seorang muslim.
Umar
bin Abdul Aziz rahimahullah juga menegaskan bahwa “ketakwaan bukanlah
menyibukkan diri dengan perkara yang sunnah namun melalaikan yang wajib”. Beliau
rahimahullah berkata, “Ketakwaan kepada Allah bukan sekedar dengan berpuasa di
siang hari, sholat malam, dan menggabungkan antara keduanya. Akan tetapi
hakikat ketakwaan kepada Allah adalah meninggalkan segala yang diharamkan Allah
dan melaksanakan segala yang diwajibkan Allah. Barang siapa yang setelah
menunaikan hal itu dikaruni amal kebaikan maka itu adalah kebaikan di atas
kebaikan.
Termasuk
dalam cakupan takwa, yaitu dengan membenarkan berbagai berita yang datang dari
Allah dan beribadah kepada Allah sesuai dengan tuntunan syari’at, bukan dengan
tata cara yang diada-adakan (baca: bid’ah). Ketakwaan kepada Allah itu dituntut
di setiap kondisi, di mana saja dan kapan saja. Maka hendaknya seorang insan
selalu bertakwa kepada Allah, baik ketika dalam keadaan tersembunyi/sendirian
atau ketika berada di tengah keramaian/di hadapan orang.
2.
Kriteria
Takwa
Pertama, Al-Kouf bil Jalil (Takut kepada Allah yang Maha Mulia).
Yang dimaksud takut disini bukan seperti kepada algojo atau atasan yang jahat.
Namun, yang dimaksud takut disini adalah takut karena kebesaran dan
kemahabijaksanaan Allah SWT, sehingga dia takut jika melanggar aturan Allah
SWT, bahkan dia takut padaNya meskipun manusia tidak melihatnya. Hal ini pernah
tercermin pada seorang wanita yang meminta Nabi saw agar ia dihukum rajam
karena perbuatannya, sebab dia takut akan siksa Allah di akhirat.
Kedua, al-hukmu bit tanzil (Berhukum kepada al-Quran yang
diturunkan). Banyak di antara umat Islam yang ingin berhukum kepada Al-Quran,
namun mereka masih memakai hukum kuffar. Suatu hari dua muallaf Yahudi telah
resmi masuk Islam, namun dalam amalannya, mereka masih menikmati ritual agama
Yahudi, dimana setiap hari sabtu masih melakukan ibadah cara Yahudi, maka
turunlah ayat Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam
keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya
syaitan itu musuh yang nyata bagimu”. (QS. Al-Baqarah:
208)
Ayat ini menunjukkan agar kita totalitas dalam berIslam serta hanya
mengacu kepada tuntunan al-Quran dan sunnah Rasulullah saw, serta tidak
mencampuradukkan ritual Islam dengan ritual agama lain.
Ketiga, Al-isti’dad li yaumil rahil (Menyiapkan diri untuk hari
akhirat). Nabi saw pernah menyatakan bahwa orang yang cerdas adalah orang yang
dapat menahan hawa nafsunya dan beramal untuk persiapan setelah meninggal
dunia. Karena pada hakekatnya, hidup di dunia laksana menyebarang jalan.
Artinya, dunia bukanlah tujuan akhir, melainkan alam akhirt-lah tujuan akhir
hidup kita. Oleh karena menyiapkan diri untuk tujuan akhir adalah penting, agar
selamat sampai tujuan.
Keempat, al-ridho bil qolil (Ridho dengan bagian yang sedikit).
Sikap ini sepadan dengan makna qona’ah (rasa puas dengan pemberian Allah).
Sikap ini sangat sulit jika tidak didorong dengan sikap husnuzzhon (baik
sangka) kepada Allah SWT, sebab sifat dasar manusia adalah selalu ingin lagi
dan ingin lagi.
Keluarga pasangan Ali bin bi Thalib dan Fatimah adalah cermin manusia yang ridho dengan pembagian Allah, bahkan saat Allah telah memberi rezeki pada mereka, mereka harus memberikannya kembali kepada orang yang lebih tidak mampu dari mereka.
Keluarga pasangan Ali bin bi Thalib dan Fatimah adalah cermin manusia yang ridho dengan pembagian Allah, bahkan saat Allah telah memberi rezeki pada mereka, mereka harus memberikannya kembali kepada orang yang lebih tidak mampu dari mereka.
3.
Jalan
mencapai Takwa
a.
Mu’ahadah
(Mengingat Perjanjian)
Kalimah ini
diambil dari firman Allah Yang MahaTinggi
”Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu
berjanji..”(an-Nahl[16]:91
· Cara Mu’ahadah
Hendaklah seorang mukmin berkhalwat (menyendiri) antara dia dan
Allah untuk mengintrospek diri seraya mengatakan pada dirinya. ”Wahai jiwaku,
sesungguhnya kamu telah berjanji kepada Rabbmu setiap hari disaat kamu berdiri
membaca.
”Hanya kepada Engkau kami beribadah dan hanya kepada Engkau kami
mohon pertolongan.”(al-Fatihah[1]:5)
b.
Muroqobah
(Merasakan Kesertaan Allah)
Landasan muroqobah dapat Anda temukan dalam surat asy-Syuura, yaitu
dalam firman Allah,
”yang melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk shalat) dan melihat
pula perubahan gerak badannya diantara orang-orang yagn sujud”. (asy-syu’raa
[26]: 218-219). Maknanya
adalah sebagaimana diisyaratkan oleh Al- Qur’an dan hadits, ialah: merasakan
keagungan Allah Azza wa jalla di setiap waktu dan keadaan serta merasakan
kebersamaan-Nya di kala sepi ataupun ramai.
c.
Muhasabah
(Introspeksi Diri)
Dasar muhasabah adalah firman Allah:
”Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan
hendaklah memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat),
dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan” (al-Hasyr [59]: 18).Umar bin Khattab r.a. berkata,”Hisablah diri kalian sebelum
kalian dihisab, timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang, dan
bersiap-siaplah untuk pertunjukan yang agung (hari kiamat). Di hari itu kamu
dihadapkan pada pemeriksaan, tiada yang tersembunyi dari amal kalian barang
sedikitpun.”
d.
Mu’aqobah
(Pemberian Sanksi)
Sanksi yang kita maksudkan adalah apabila seorang mukmin menemukan
kesalahan maka tak pantas baginya untuk membiarkannya. Sebab membiarkan diri
dalam kesalahan akan mempermudah terlanggarnya kesalahan-kesalahan yang lain
dan akan semakin sulit untuk meninggalkannya. Bahkan sepatutunya dia memberikan
sanksi atas dirinya dengan sanksi yang mudah sebagaimana memberikan sanksi atas
istri dan anak-anaknya, hal ini merupakan peringatan baginya agar tidak
menyalahi ikrar, di samping merupakan dorongan untuk lebih bertakwa dan
bimbingan menuju hidup yang lebih mulia.
e.
Mujahaddah
(Optimalisasi)
Dasar mujahadah adalah firman Allah dalam surat al-Ankabut.
‘’Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) kami,
benar-benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. Dan
sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik”.(al-
Ankabut [29]:69). Makna
mujahadah sebagaimana disyariatkan oleh ayat tersebut adalah: Apabila
seorang mukmin terseret dalam kemalasan, santai, cinta dunia dan tidak lagi
melaksanakan amal-amal sunah serta ketaatan yang lainnya tepat pada waktunya,
maka ia harus memaksa dirinya melakukan amal-amal sunnah lebih banyak dari
sebelumnya. Dalam hal ini harus tegas,serius,dan penuh semangat sehigga pada
akhirtya ketaatan merupakan kebiasaan yang mulia bagi dirinya dan menjadi sikap
yang melekat pada dirinya.
4.
Dalil
Al-Qur’an dan Hadis tentang takwa
QS. Al-Baqarah [2] : ayat 63
وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَكُمْ
وَرَفَعْنَا فَوْقَكُمُ الطُّورَ خُذُوا مَا آتَيْنَاكُمْ بِقُوَّةٍ وَاذْكُرُوا
مَا فِيهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
[2:63] Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kamu dan
Kami angkatkan gunung (Thursina) di atasmu (seraya Kami berfirman): “Peganglah
teguh-teguh apa yang Kami berikan kepadamu dan ingatlah selalu apa yang ada
didalamnya, agar kamu bertakwa“.
QS. Al-Baqarah [2] : 21
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا
رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
[2:21] Wahai manusia! Sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan
kamu dan orang-orang yang sebelum kamu, agar kamu bertakwa.
QS. Aali
‘Imran (Ali ‘Imran) [3] : ayat 50
وَمُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ
يَدَيَّ مِنَ التَّوْرَاةِ وَلِأُحِلَّ لَكُمْ بَعْضَ الَّذِي حُرِّمَ عَلَيْكُمْ
ۚ وَجِئْتُكُمْ بِآيَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَطِيعُونِ
[3:50] Dan sebagai seorang yang membenarkan Taurat yang
datang sebelumku, dan agar aku menghalalkan bagi kamu sebagian dari yang telah
diharamkan untukmu. Dan aku datang kepadamu membawa suatu tanda (mukjizat) dari
Tuhanmu. Karena itu, bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku.
عَنْ أَبِي ذَرّ جُنْدُبْ بْنِ
جُنَادَةَ وَأَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ مُعَاذ بْن جَبَلٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا
عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : اِتَّقِ اللهَ
حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ
النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ “
[رواه الترمذي وقال حديث حسن وفي بعض النسخ حسن صحيح]
Dari Abu Dzar bin Junadah dan Abu Abdurrahman Muadz bin Jabal
radhiyallahu’anhuma, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda,
“Bertakwalah kepada Allah di mana pun engkau berada. Iringilah kejelakan dengan
kebaikan, niscaya kebaikan tersebut akan menghapuskannya. Dan bergaullah dengan
manusia dengan akhlak yang baik.” (HR. Tirmidzi, dan dia berkata: Hadits
Hasan Shahih. Hasan dikeluarkan oleh At Tirmidzi di dalam [Al Bir Wash
Shilah/1987] dan dishahihkan oleh Al Albani di dalam Al Misykat [5083])
5.
Contoh sikap dan perilaku takwa
Ø Bersegera memohon ampunan Allah bila berbuat dosa dan mudah meminta
maaf kepada sesama manusia (Tidak
gengsi)
Ø Mau berinfaq/sedekah dalam keadaan lapang maupun sempit (Tidak
pelit)
Ø Bisa menahan amarah (Tidak ngambekan/emosian)
Ø Mudah memaafkan kesalahan orang lain (Tidak pendendam)
Ø Senantiasa melakukan kebaikan atau berbuat baik (Tidak jahat)
Ø Bersabar dalam menerima cobaan
Ø Tidak sombong dan tidak berbuat kerusakan di muka bumi
Ø Selalu ingat kepada Allah (dzikrullah) dengan menggunakan akal
Ø Selalu berhati-hati dalam setiap tindakan karena takut terhadap
azab Allah
6.
Karunia
Takwa atau faedah takwa [10]
Ø Memperoleh keberkahan
Ø Memperoleh Rahmat
Ø Kegembiraan
Ø Memperoleh Hidayah
Ø Dicintai allah
Ø Memperoleh ketenangan hati
Ø Keselamatan Dunia & Akhirat
Ø Mendapat Perlindungan dari allah swt
BAB III
KESIMPULAN
Tawadhlu’
adalah sikap merendahkan diri dan melemah lembutkan hati bukan karena kehinaan
atau keremehan diri. Tujuan dari sikap rendah diri adalah memberikan setiap hak
sesuai dengan hak atau porsinya. Tawadhu‘ merupakan faktor yang menghasilkan
ketinggian derajat dan kemuliaan diri.
Tawadhu merupakan salah satu bagian dari akhlak mulia jadi sudah
selayaknya kita sebagai umat muslim bersikap tawadhu, karena tawadhu merupakan
salah satu akhlak terpuji yang wajib dimiliki oleh setiap umat islam.
Secara etimologis, terma takwa dan yang seakarnya tertera
dan terulang sebanyak 258 kali dalam Al-qur’an, berasal dari akar kata waqa-yaqi
, infitif ( mashdar)-nya wiqayah yang berarti memilihara, menjaga,
melindungi, hati-hati, menjauhi sesuatu, dan takut azab . Takwa juga dapat
berarti al khassyah dan al khauf yang berarti takut kepada azab allah. Disini
dapat dikatakan bahwa “taqwa al-lah” adalah takut kepada semua perintah allah
dan menjauhi segala larangan-Nya. Sedangkan insan yang bertaka dapat di
definisikan sebagi insan yan tetap taat kepada allah dan berusaha meninggalkan
kemaksiatan.
DAFTAR PUSTAKA
Husein, Mochtar. 2008. “Hakikat Islam Sebuah Pengantar Meraih
Islam Kaffah”. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar)
Syaikh Amin bin Abdullah asy-Syaqawi, “Sifat Tawadhu’ Rasulullah
SAW”, Terjemah Abu Ummah Arif Hidayatullah
Syeh Hasan al- Mas’udi. Terjemah alih bahasa “ TAISIRUL KHOLAQ”
H. M. Ashaf Shaleh “ Takwa” (Jakarta; Erlangga)
Wike Anggono, 2013 “TAWADHU” diakses dari (online) http://makalah73.blogspot.co.id/2012/11/tawadhu-rendah-hati.html diakses pada tanggal 30 April 2017 pada pukul 11.10 WIB
Abu Abdillah Prima Ibnu Firdaus
ar-Roni al-Mirluny,2011 ”Tawadhu”
(Online) diakses dari www.faisalchoir. blogspot.com/2012/07/ 10-faedah-tentang
tawadhu.html Pada tanggal 30 April 2017 pukul 11.22 WIB
Amanah tigetige,” Perilaku Tawadhu” diakses dari Sumber: http://kisahimuslim.blogspot.co.id/2015/09/pengertian-dan-contoh-tawadu-dalam.html pada tanggal 01 Mei 2017 pada pukul 11.45 WIB
Rahmat Hidayat , “Pengertian dan contoh tawadhu” diakses dari (online) http://walpaperhd99.blogspot.co.id/2016/01/pengertian-dan-contoh-tawadhu-perilaku.html ada tanggal 01 Mei 2017 pukul 10.55 WIB
Maktahab Abi Yahya,2011 “Sifat
Tawadhu” diakses dari (online) https://maktabahabiyahya.wordpress.com/2012/06/08/menumbuhkan-sifat-tawadhu/ pada tanggal 30 April 2017 Pukul 14.10 WIB
[1] Syaikh Amin
bin Abdullah asy-Syaqawi. Sifat Tawadhu’ Rasulullah SAW, Terjemah Abu
Ummah Arif Hidayatullah, hlm 3
[2] Syeh Hasan al- Mas’udi. Terjemah alih bahasa,“ TAISIRUL KHOLAQ”
hlm.
[3] Wike Anggono,
”TAWADHU “ diakses dari http://makalah73.blogspot.co.id/2012/11/tawadhu-rendah-hati.html pada tanggal
30 April 2017 pada pukul 11.10 WIB
[4] Abu Abdillah Prima Ibnu
Firdaus ar-Roni al-Mirluny,”Tawadhu” diakses dari www.faisalchoir.
blogspot.com/2012/07/ 10-faedah-tentang tawadhu.html Pada tanggal 30 April 2017 pukul 11.22 WIB
[5] Amanah tigetige,” Perilaku Tawadhu” diakses dari
Sumber: http://kisahimuslim.blogspot.co.id/2015/09/pengertian-dan-contoh-tawadu-dalam.html pada tanggal 01 Mei 2017 pada pukul 11.45 WIB
[6] Maktabah, Abi Yahya, “Sifat Tawadhu” diakses dari https://maktabahabiyahya.wordpress.com/2012/06/08/menumbuhkan-sifat-tawadhu/ pada tanggal 30 April 2017 Pukul 14.10 WIB
[7] Abuamincepu, “Tawadhu Merupakan
Akhlaq Mulia Yang Dicintai Allah dan Rasul-Nya”
diakses
dari http://hijrahdarisyirikdanbidah.blogspot.co.id/2011/03/tawadhu-merupakan-akhlaq-mulia-yang.html pada
tanggal 02 Mei 2017 pada pukul 10.15 WIB
[8] Syaikh
Amin bin Abdullah Asy-Syaqawi, Op.Cit. hlm.13
[9] H. M.
Ashaf Shaleh. TAKWA (Jakarta; Erlangga), hlm.1
Komentar
Posting Komentar